April 17, 2010


Apakah aku salah saat walimah..? akhirnya pertanyaan ini menyeruak juga dari benakku. Setelah hampir 20 tahun tertutup rapat. Dalam memori keyakinan. Dalam kotak sacral ketaatan. Bahwa itu sebuah kebenaran. Bahwa itu sebuah nilai perjuangan. Bahwa itu sebuah langkah pengorbanan. Untuk sebuah proses pembentukan. Berawal dari itu semua. Maka walimahan harus sesuai syariat. Sebagai awal pembinaan keluarga. Sebuah proses panjang pembinaan umat. Maka ia harus memiliki pondasi yang kokoh kuat.

Apakah aku salah saat walimah? Karena meminta orangtua agar tamu-tamu dipisahkan antara pria dan wanita. Karena kita meyakini, walimah sebagai ibadah. Jangan ada cidera syar’i, dengan bercampurnya para tamu pria dan wanita. Tentu saja tak semua orangtua setuju. Sebuah kebiasaan baru, tak lazim kata mereka. Belum lagi, tidak semua masyarakat mau menerima. Ada yang harus membujuk dengan kata-kata manis. Ada yang harus berjidal dengan dalil Qur’an dan Hadits. Ada yang terpaksa ‘bertempur’ dalam suasana panas. Mengeluarkan semua strategi. Mengandalkan segala kelebihan diri. Semua dalam rangka memperjuangkan sebuah keyakinan. Bukan perjuangan ringan melakukannya. Karena yang dihadapi adalah kekerasan sikap orangtua. Karena yang dihadapi adalah kebiasaan dan kekakuan adat istiadat. Beragam keyakinan dan berakarnya tradisi masyarakat. Pastilah tak mudah menghadapi semua itu. Membutuhkan upaya serius namun manis.

Apakah aku salah saat walimah? Karena pengantin putri tidak bergincu tebal. Menghias wajah hingga tak tampak aslinya. Tetapi dengan make up yang tipis ala kadarnya. Sebuah semangat untuk tidak tabaruj. Karena kami juga meyakini. Tabaruj di depan orang banyak sebuah pencideraan syariah. Apakah aku salah saat walimah? Karena memasang tulisan kaligrafi sebagai hiasan. Sebagai sebuah kesempurnaan ajaran. Tak kalah manis. Tak kurang menarik. Tetap meriah dengan aneka warna dan rupa. Karena kami meyakini, janur bukan sekedar hiasan. Karena janur kuning sebuah ritual keagamaan. Kami tak ingin hal itu hadir dalam sebuah peribadahan kami. Salahkah aku saat walimah? Karena memasang nasyid islami sebagai pengiring. Menahan lagu pop dengan syair cinta yang mendayu-dayu. Atau lagu dangdut yang enerjik dengan ungkapan yang vulgar. Juga alunan seruling bambu yang melengking-lengking.

Apakah aku salah saat walimah? Saat strategi diperaktekkan. Rekayasa diterapkan. Selalu begitu setiap akan ada walimah di antara kami. Karena rintangan tak kepalang dirasakan. Hamper di setiap pelaksanaan walimah. Dan kala itu tak ada dukungan sama sekali dari instansi atau aparat setempat. Karena kita orang ‘asing’. Dianggap asing oleh masyarakat. Membawa ajaran asing. Tapi ghiroh betapa hebatnya. Semangat tak habis-habisnya. Militansi kami seperti akan melahap bumi layaknya. Membawa misi agama dengan bungkus akhlak mulia. Dengan tampilan prestasi kerja. Dengan contoh kehidupan nyata. Sederhana. Unik dan bersahaja.

Karena seperti itulah tarbiyah mengajarkan kami. Melalui ucapan para murobi. Karna kami meyakini. Itu bukan sekedar ucapan mereka. Karena itu sebuah pesan kebenaran. Bukan doktrin berantai. Tapi penyadaran akan sumber ajaran. Sebuah bukti amalan dari sikap keyakinan. Merekapun tidak hanya bicara, tapi memperkenalkan kami akhlak pekerti. Mereka mencontohkan kami pergaulan Islami. Dalam kehidupan sehari-hari. Mereka memperkenalkan kami cara pernikahan syar’i. Dalam memulai rumah tangga sejati. Dan membimbing cara walimahan Islami. Agar keberkahan selalu menghinggapi. Seperti itulah mereka menikah. Seperti itu pula mereka walimah… Sebuah proses tarbiyah yang berketerusan. Sebuah amalan dawah bertahapan. Luar biasa.

Hingga, Kala waktu berjalan. Zaman bergilir perlahan. Kader semakin banyak tersebar. Pertambahan berkali lipat. Jumlah yang membengkak. Tanda penerimaan seruah dawah sebenarnya. Tapi ada yang berubah, tak bisa dihindari, sebuah proses hidup. Tentu saja pernikahan pun tak henti-hentinya. Setiap saat. Setiap tempat. Terus dan terus bertambah. Tapi ada yang benar-benar berubah. Sungguh, ada yang benar-benar berbeda. Semakin banyak pernikahan kader tapi semakin jarang ditemui dipisahnya tamu pria dan wanita. Serta kedua mempelai ‘dipajang mesra’ di depan semua. Ini hanya sebuah perenungan kecil . Karena setiap kali hadir di walimahan kader, selalu saja fenomenanya sama. Tidak tegas memisah tamu pria dan wanitanya. Pengantin bersanding mesra di pelaminan. Dilihat semua orang, dipandangi semua yang datang…

Kalau dulu motovasinya adalah mengamalkan syariat, pasti sekarangpun takan berubah. Tapi jika dulu walimahan dengan tegas dipisah agar tidak ikhtilat (bercampur) mengapa sekarang sangat encer dan longgar sekali tak ada sekat. Jikapun ada, pemisahnya hanya jejeran tanaman hias ala kadarnya. Bukan lagi berfungsi sebagai sekat pemisah, tapi sebagai hiasan pemanis agar pantas saja. Bahkan ada yang lepas begitu saja tanpa pembatas kecuali tempat kosong sebagai jarak pemisah antara barisan kursi. Kalau dulu pengantin dipisah dimana pria hanya untuk pria dan wanita untuk wanita. Dalam dua ruang berbeda. Pengantin pun benar-benar dipisah. Masing-masing dengan tiga kursi pelamin. Pengantin pria dengan ayah dan bapak mertua. Pengantin wanita dengan bunda dan ibu mertua. Jadi takan mungkin tamu pria melihat pengantin wanita. Seperti juga takan mungkin tamu wanita melihat pengantin pria. Bahkan tamu priapun takan bisa bertemu tamu wanita. Benar-benar dipisah. Mengapa sekarang pengantin disandingkan di depan semua tamu. Dipandangi bersama. Dilihat bersama. Disalami bersama. Didoakan bersama. Namun disinilah justru menjadi pusat ikhtilat akhirnya. Semua tamu, pria dan wanita bertemu, memberi selamat, memberi doa berkat dan menyelitkan amplop berlipat.

Apakah aku salah saat walimah. Agak aneh sebenarnya jika muncul kalimat seperti ini. Pertama, kalimat itu menyiratkan makna ketidakjelasan. Ada keraguan di dalamnya. Sehingga butuh penjelasan tambahan untuk memahaminya. Kedua, karena ini menyangkut masalah kebenaran. Apakah ada yang berubah dari sebuah nilai kebenaran. Ketiga, karena masalah inipun bernilai Ibadah. Lalu, apakah esensi ibadah itu sendiri bisa bergeser karena perkembangan zaman misalnya?! Ah, sesungguhnya sejak awal terasa ketidakwajaran dalam kalimat pertanyaan itu. Ada muatan kontradiktif di sana. Kontradiksi dengan makna pertanyaan itu sendiri, juga kontradiksi dengan realita antara waktu itu (80an – 90an) dan saat ini. Sehingga akhirnya lahirlah pertanyaan susulan berikut ; apakah walimahan waktu itu memang berlebihan..? apakah prosesi waktu itu memang sebuah kesalahan? Atau memang sudah tak sesuai zaman? Atau itu hanya sebuah konsekuensi logis dalam era musyarokah dawah? Atau malah, sebuah implementasi prinsip fikih dawah itu sendiri? Apalagi, dalam beberapa acara walimahan, para murobi kami menikahkan anak-anak mereka tidak seperti yang mereka ajarkan pada kami di masa awal dulu. Nah loh..! mengapa begitu..? Aku , Aku tak tahu jawabannya kawan, mulai nyeri kepalaku…

sumber : Pesona kata (http://dwifahrial.info/)

0 komentar :

Post a Comment